Tegaknya Kedaulatan Pangan dan Keadilan Ekonomi Indonesia

Oleh : Raihan

Penulis adalah mahasiswa ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia 

INDOJABAR.ID | Dunia hari ini masih dalam suasana perjuangan, perjuangan melawan musuh tidak terlihat tetapi dampaknya sungguh terasa yaitu corona virus. Negara-negara di dunia menerapkan darurat kesehatan dalam menghadapi COVID-19 (Corona Virus Disease) ini dari lockdown sampai lockdown parsial seperti PSBB di Indonesia. Di Indonesia saja data pemerintah pada Selasa (5/5/2020) jumlah kasus COVID-19 ini berjumlah 12.071 orang.

Cepatnya penularan virus menimbulkan suatu kondisi di mana orang-orang harus berjaga jarak atau physical distancing menurut bahasa organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization). Pemerintah Indonesia pun mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PP tersebut mengatur pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau/kabupaten kota. PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, dan pembatasan fasilitas umum.

Dampak dari COVID-19 ini menjalar ke seluruh aspek kehidupan terkhusus di bidang ekonomi. Di Indonesia ribuan perusahaan mem-PHK para karyawan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) kemenkeu mengatatakan bahwa angka pengangguran bisa bertambah lima juta orang, hal ini akan menghasilkan semakin banyak orang kehilangan pendapatan dan turunnya daya beli masyarakat. Permasalahan nya ialah bagaimana perencanaan pemerintah dalam bidang ekonomi di kemudian hari mengingat kesemerawutan ini terjadi di seluruh negara tanpa terkecuali negara-negara maju macam Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok.

Dalam kondisi saat ini ketersediaan pangan adalah suatu hal yang wajib menjadi fokus utama pemerintah, biasa nya jika produksi pangan dalam negeri tidak bisa memasok ketersediaan maka pemerintah akan membuka jalan impor agar tidak terjadi kelangkaan dan harga melambung tinggi. Sebagai contoh beras, di Indonesia beras adalah makanan pokok rakyat sudah tentu perihal beras ini harus menjadi salah satu concern bagi pemerintah, Thailand dan Vietnam sebagai negara pengekspor beras di Indonesia mulai membatasi ekspor nya demi menjaga ketersediaan pangan mereka. Artinya Indonesia akan sedikit kesulitan menjaga ketersediaan beras. Indonesia tidak boleh bergantung pada impor terlebih dalam sektor pangan, dalam keadaan dunia yang sedang darurat kesehatan seperti sekarang jangan sampai hal ini terus berlanjut, hal ini akan menjadi bom waktu sampai nantinya terjadi kelangkaan dan inflasi tinggi. Tapi bagaimana dengan angka inflasi di awal bulan Ramadhan yang biasanya tinggi malah berkata sebaliknya menjadi inflasi terendah dari tahun tahun sebelumnya, itu dikarenakan stok pangan kita masih tersedia dan daya beli masyarakat yang menurun pula, ini hanya perihal waktu saja sampai Indonesia tidak memiliki stok pangan yang cukup.

Indonesia selalu digadang-gadang sebagai negara agraria yang berarti sangat dimungkinkan sebagai penghasil utama produk pertanian sehingga seharusnya pangan seperti beras, palawija, dan umbi-umbian akan selalu memasok ketersediaan pangan di Indonesia. “Indonesia sebagai negara agrarian” jangan hanya jadi slogan dan jargon yang dibesar-besarkan tetapi harus dijalankan secara konkret dan konsekuen lewat kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada keadilan ekonomi yang berdikari. Sangat disayangkan untuk beras saja yang jadi makanan pokok rakyat, pemerintah masih mengandalkan impor dari Thailand begitupun dengan bawang putih yang impor dari Republik Rakyat Tiongkok.

Sempat ada usulan dari DPR RI agar pemerintah dan Bank Indonesia mencetak uang Rp. 600 Triliun yang berguna sebagai stimulus untuk rakyat yang kehilangan pendapatan, tetapi akhir nya usulan itu ditolak oleh BI. Memang sangat berbahaya mencetak uang yang terlalu banyak ketika sedang krisis. Jika tidak bisa dikendalikan akan memicu tingginya inflasi dan membuat harga-harga naik tinggi, belum lagi nilai tukar rupiah yang akan anjlok.

Krisis dari COVID-19 ini harus digunakan sebagai kesempatan bagi pemerintah Indonesia dalam meningkatkan produksi pangan dalam negeri terlebih dalam sektor pertanian. Fokus peningkatan produksi pangan akan membuat Indonesia kembali berdaulat dalam ketersediaan pangan juga membuka lapangan kerja yang luas dan menghasilkan surplus dikemudian hari sehingga Indonesia bisa menjadi pengekspor barang pertanian. Peningkatan  produksi pangan dalam negeri harus juga dibarengi dengan jalanya keadilan ekonomi.

Keadilan ekonomi menjamin seluruh rakyat dari bergabagai kalangan bisa hidup karena pendistribusian barang pangan yang adil, akan ada usaha-usaha ke arah pembagian yang merata sehingga rakyat dengan predikat miskin pun akan mendapatkan barang pangan untuk bertahan hidup. Dengan ini masalah ketersediaan pangan terselesaikan tanpa bergantung pada impor, dan  pemerintah bisa mengalokasikan biaya impor pangan ke barang yang dibutuhkan seperti mesin industri misalnya agar negara bisa berkembang dan memompa produksi dalam negeri lebih cepat.    

Tidak bisa dipungkiri pula keterlambatan pemerintah dalam menghadapi corona virus, diawal perkembangannya banyak dari kalangan pemerintah yang menganggap remeh persoalan corona virus yang berimbas pada terbuangnya waktu untuk menghadapi masalah didepannya. Keterlambatan pemerintah menjadi suatu kritik tersendiri, yang paling terpenting dalam keadaan seperti ini adalah memberikan solusi dan membuat kebijakan yang solutif pula bagi ekonomi Indonesia kedepan yang tidak bergantung pada impor luar negeri serta menegakan keadilan ekonomi yang konsekuen. 




Artikel Terkait

Comments (3)

    komentar Facebook sedang dipersiapkan