Omnibus Law Untuk Siapa?

Oleh : Cecep Darmawan Guru Besar Ilmu Politik dan Kepala Pusat Kebijakan Publik LPPM Universitas Pendidikan Indonesia

INDOJABAR.ID -- SELAIN isu coronavirus disease 2019 (COVID-19), saat ini ruang publik sedang diramaikan dengan kontroversi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dirancang oleh Pemerintahan Presiden Jokowi dan Ma'ruf Amin. 

Terlepas diskursus substansialnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ini dinilai selain memiliki kelemahan seperti terkesan dominasi eksekutif dan cenderung mengubah praktika pembentukan peraturan perundang-undangan, juga memiliki sejumlah keunggulan tertentu, di antaranya dapat menjadi solusi bagi penyelesaian konflik antarperaturan perundang-undangan atau benturan antarregulasi, selain solusi bagi inkonsistensi regulasi.

Pihak yang pro terhadap omnibus law ini berpandangan bahwa di tengah persaingan ekonomi global, pemerintah harus mengakselarasi proses pembangunan ekonomi agar dapat menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045. Salah satu upaya pemerintah ialah dengan menciptakan regulasi yang ramah terhadap investasi dan dapat mempercepat laju proses pembangunan. Namun, kondisi riil di lapangan kerap terhambat oleh problema regulasi yang dinilai menghambat investasi. 

Atas dasar itulah pemerintah ingin memangkas jalur ini melalui kebijakan deregulasi dan debirokrasi. Konkritnya pemerintah ingin melakukan reformasi hukum melalui RUU omnibus law agar dapat mempermudah dan membentuk iklim investasi yang ramah bagi para investor demi kesejahteraan rakyat.

Masih asing

Isu omnibus law ini muncual ketika pidato pelantikan Presiden yang menyebutkan bahwa pemerintah akan menerbitkan dua undang-undang besar yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Secara konseptual, omnibus law merupakan istilah yang diterapkan di negara-negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika Serikat. 

Sementara itu, negara Indonesia sendiri menganut sistem hukum civil law, sehingga istilah omnibus law ini relatif asing dalam sistem hukum negara Indonesia. Pembentukan suatu produk hukum di Indonesia sendiri mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. 

Dalam undang-undang ini, tidak disebutkan atau tidak mengenal adanya istilah UU payung atau omnibus law. Untuk itu, secara formil proses pembentukan RUU omnibus law dinilai masih perlu penyelasaian dalam alur pembentukan peraturan perundang-undangan.

Omnibus law merupakan produk hukum yang berupaya membuat suatu undang-undang yang dapat mencabut atau mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Secara materil, landasan filosofis dari RUU omnibus law sendiri memiliki tujuan yang baik yakni menyelaraskan berbagai aturan yang inkonsisten, menyederhanakan regulasi, mempermudah investasi, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat. 

Niat pemerintah dalam RUU omnibus law sendiri pada dasarnya baik, yakni guna menjalankan kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Namun, secara materiil, pemerintah semestinya memperhatikan berbagai substansi pengaturan terkait kewenangan dalam konteks otonomi daerah, etika dan daya dukung lingkungan hidup, hak-hak buruh, dan lain-lain yang disoroti oleh berbagai pihak dalam mengkaji RUU omnibus law ini.

Kontroversi di kalangan masyarakat tentunya perlu direspons positif oleh pemerintah dan DPR agar RUU omnibus law ini dapat menjadi regulasi yang progresif memberi solusi bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan bangsa tanpa mencederai hak-hak politik dan ekonomi rakyat. Untuk itu, penulis mendorong agar pembentukan  undang-undang ini melibatkan partisipasi publik secara massif. 

Hal ini penting dilakukan sebagai upaya legitimasi hukum dan politik dalam konsep negara  hukum yang demokratis. Oleh karenanya, proses ini memerlukan transparansi dan akuntabilitas publik melalui ruang-ruang dialogis yang intens antara pemerintah, DPR, dan berbagai pemangku kepentingan. Untuk merealisasikan idealisasi ini di antaranya;  pertama, dalam pembentukan RUU omnibus law ini mesti mentaati berbagai asas maupun tahapan formil pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019. 

Kepentingan publik

Selain itu materi muatan dalam RUU omnibus law tersebut harus memperhatikan equilibrium atau keseimbangan hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah. Sehingga dipastikan tidak ada kepentingan publik yang tereliminir dalam RUU omnibus law ini.

Kedua, dalam proses pembentukan RUU omnibus law, pemerintah maupun DPR mesti amat terbuka dalam proses pembahasan RUU tersebut. Para pembentuk RUU omnibus law juga harus membuka ruang partisipasi publik secara luas dalam setiap tahap pembentukan RUU omnibus law, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, para ahli dari berbagai perguruan tinggi, serta para pemangku kepentingan yang terdampak seperti para buruh, aktivis lingkungan, pelaku usaha, maupun pemerintah daerah. 

Jangan sampai pembahasan RUU omnibus law ini hanya melibatkan elite-elite politik dan pemerintah saja tanpa keterlibatan publik.

Ketiga, para pembentuk RUU omnibus law juga harus melakukan sosialisasi dan edukasi dalam memberikan berbagai keterbukaan informasi terkait setiap tahapan pembentukan RUU omnibus law. Misalnya dengan menyebarluaskan naskah akademik dan draf RUU yang akan dibahas maupun memberikan keterbukaan informasi terhadap perkembangan pembahasan dan mungkin juga beberapa perubahan dalam RUU tersebut. 

Keempat, para pembentuk RUU omnibus law juga seyogyanya mengedepankan proses hukum dan politik melalui legalitas formal dan politik dalam pembentukan undang-undang. Artinya RUU tersebut harus menjamin perlindungan hak asasi manusia, keberpihakan terhadap rakyat, memperhatikan pelestarian lingkungan, pencegahan korupsi, dan menghilangkan stigmatisasi bahwa RUU ini hanya untuk kepentingan investor semata

Kelima, menginisiasi RUU ini sebagai momentum untuk melakukan reformulasi dan reformasi hukum melalui pendekatan omnibus law. Meski harus dipahami bahwa tujuan akhir regulasi ini adalah menyejahterakan rakyat bukan semata-mata bertujuan tunggal yakni dalam konteks menciptakan iklim investasi yang ramah. 

Para pembentuk undang-undang harus mengimplementasikan pendekatan ini secara komprehensif dan progresif sebagai upaya terobosan dalam reformasi hukum ke depan tanpa menabrak regulasi yang tersedia. Dengan demikian, jika berbagai hal tersebut dilakukan sedang terjadi upaya hukum yang imperatif dan demokratis.  

Omnibus law dapat menjadi produk hukum yang berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial sekaligus sarana pembangunan nasional untuk kesejaheraan rakyat. Dengan kata lain, omnibus law juga dapat berperan sebagai produk hukum yang progresif sekaligus sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat yang dapat memandu terciptanya kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Semoga. 




Artikel Terkait

Comments (3)

    komentar Facebook sedang dipersiapkan