Islam dan Masalah Ekonomi: Bagaimana Cara Mengatasinya?

Oleh : Wildan Romadhon, S.AP (Kader HmI Cabang Kabupaten Bandung) 

INDOJABAR.ID -- aya akan mengawali tulisan ini dengan sebuah “rujukan” yang amat penting. Sebab, bagaimana saya bisa menuangkan gagasan dengan konsep pembaharuan yang amat penting juga, jika tidak melihat terlebih dahulu rujukan yang amat penting itu.

Rujukan itu berasal dari bukunya Kh. Aburrahman Wahid (biasa kita kenal dengan panggilan Gusdur) yang berjudul “Islamku, Islam Anda dan Islam Kita”. Buku berisi kumpulan esai esai yang pernah ditulis Gusdur lalu dijadikan buku oleh penerbit The Wahid Institute itu salah satunya menginspirasi saya dalam memandang agama Islam.

Konteks agama yang disampaikan oleh Gusdur adalah tentang Islam dalam arti yang ramah bukan marah. Inklusif bukan eksklusif dan yang plural bukan radikal. Sebelas, dua belas, tiga belas lah dengan Cak Nur dan Buya Syafi’i Ma’arif. Khususnya tentang konteks ajaran agama yang dapat dijadikan landasan hidup kita sehari hari secara individu, bermasyarakat dan bernegara.

Dewasa ini, pada periode kepemerintahannya Bapak Ir. Joko Widodo sebagai Presiden, kita dihadapkan oleh berbagai masalah, baik itu yang berkaitan dengan politik, sosial, budaya, pendidikan, agama, ekonomi dan lain sebagainya. Terlebih dalam tahun wabah ini. Persoalan tentang negara kita mengalami resesi ekonomi yang cukup drastis menjadi bahan pembicaraan pokok masyarakat.

Hal ini dirasakan saat datangnya wabah “virus corona” yang begitu menjengkelkan semua-mua manusia. Kebijakan pemerintah tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), mentaati aturan protokol kesehatan dan tetap di rumah saja untuk mencegah penyebaran virus corona itu kurang efektif.  Faktanya,  jumlah korban yang terkena virus corona semakin bertambah hari demi hari, bersamaan dengan pondasi perekonomian negara yang kian anjlok.

Yang ada justru aktivitas masyarakat dipersempit, akses di dunia perdagangan pun menjadi sulit, sehingga mengenai harga kebutuhan pokok dan lain lainnya mengalami pelonjakan harga. Sementara di tahun wabah ini telah terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar besaran dari setiap perusahaan disebabkan menurunnya jumlah konsumen/nasabah. Sehingga, profit yang dihaslkan pun ikut menurun.

Bukan hanya pegawai/karyawan di perusahaan saja. Pebisnis dan pekerja lain pun di bidang jasa mengalami penurunan jumlah konsumen yang cukup drastis, namun di sisi lain naiknya harga kebutuhan pokok menjadi tidak seimbang dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat tentang pendapatan ekonominya.

Timbul lah kasus kriminal yang semakin banyak, korupsi dimana mana, dan persaingan yang tidak sehat dalam hal perdagangan demi menjaga stabilitas pendapatan keuangannya. Hal itu semua dilakukan karena soalnya hanya satu, yaitu soal “kesejahteraan”.

Dalam bahasa pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata kesejahteraan dirumuskan dengan ungkapan lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesejahteraan menjadi soal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam ajaran Islam, soal kesejahteraan sering digembor gemborkan kepada para penguasan/pemimpin. Pemimpin itu harus bisa menyejahterakan masyarakatnya. Tujuan berkuasa/memimpin itu adalah untuk kemashlahatan (al-maslahah), bukan soal kepentingan pribadi atau kelompok. Prinsip kemashlahatan itu sering dimaknai dengan “kesejahteraan rakyat”. Kalau kata mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk India yang saat ini menjadi dosen ekonom di Harvard University: John Kenneth Galbraith, sebagai “The Affluent Society”.

Kesejahteraan identik dengan perkara ekonomi. Dan ekonomi menjadi titik sentral masalah yang bakal mempengaruhi sektor sektor lainnya Saya jadi teringat perkataan dari pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi atau disingkat PPD, Rocky Gerung di dalam diskusi yang diadakan oleh ILC (Indonesian Lawyers Club).

Rocky Gerung menceritakan konflik agama di India mengenai persekusi seorang muslim yang miskin karena ingin membeli susu anaknya. Kemudian keluar rumah demi anaknya untuk membeli susu, namun tragisnya ia tewas dibunuh oleh orang orang non muslim. Pertanyaannya : Apakah seorang muslim yang miskin itu tewas karena miskin? Atau tewas karena ia seorang muslim?

Logika yang digunakan oleh Rocky Gerung bahwa jika seorang muslim itu seseorang yang banyak harta maka ia lolos dari pembunuhan, karena bisa membeli susu menggunakan helikopter. Bukan karena agama yang ia percayai. Ia meneruskan bahwa konflik tentang apapun jangan selalu dikaitkan dengan agama, melainkan pemerintah harus melihat (meminjam istilah yang digunakan olehnya) “Social origin” dari kasus yang dipermasalahkan.

Dan dari kasus tersebut seorang warga negara India memenangi Nobel dalam bidang ekonomi atas karyanya tentang ekonomi kesejahteraan pada tahun 1998 yaitu Amartya Kumar Sein.

Saya tahu maksud dari pembicaraan Rocky Gerung, bahwa titik sentral dari segala permasalahan adalah tentang pondasi perekonomian yang ambruk sehingga sektor sektor lainnya pun ikut ambruk. Dari tadi saya membicarakan ihwal permasalahan permasalahan dan permasalahannya saja. Lantas, bagaimana untuk menyelesaikannya?

Saya sudah terangkan di atas tentang pemimpin atau seorang penguasa. Saya mengambil dari esainya Gusdur dalam buku “Islamku Islam Anda dan Islam Kita”. Memang ada dua poin besar agar masyarakat dapat mendapatkan kesejahteraan.

Yang pertama adalah seorang pemimpin harus menciptakan kelompok yang kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dipijak. Untuk mencapai hal itu, ia harus mengikuti sebuah strategi yang jelas untuk memperkuat masyarakat yang adil dan makmur Kedua, yang harus ditegakkan oleh seorang pemimpin adalah orientasi yang benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas.

Jika gagasan yang disampaikan oleh Gusdur di dalam esainya itu tentang menjaga kesejahtreraan rakyat adalah harus menekankan orientasi ekonomi kepada Usaha Kecil Menengah, bukan kepada perusahaan atau usaha yang besar dan raksasa (kapitalis). Maka saya mengusulkan soal penekanan orientasi ekonomi di dalam sarana “zakat”.

Mengapa alasan saya mengusulkan zakat? Pertama, skripsi (tugas akhir sebagai seorang mahasiswa) saya adalah tentang zakat, jadi setidaknya saya mengetahui bagaimana zakat dapat mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kedua, zakat adalah ajaran Islam dan salah satu rukun Islam yang wajib kita (sebagai muslim) laksanakan (jika mampu). Ketiga, zakat itu titik tekannya kepada kehidupan sosial ekonomi (soal muamalah), jadi lebih sesuai dengan konteks pembahasan dari tulisan ini.

Sirkulasi keungan yang ada di dalam tata aturan zakat itu sangat kompeten untuk menanggulangi kemiskinan dan serupa kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat setempat. Sebab hal hal yang dikritik oleh Gusdur soal kapitalisme itu, menjadi alat tanding dengan usulan saya yaitu zakat. Dan zakat dapat menggerogoti sifat kapitalis yang serakah terhadap harta.

Zakat dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis semata. Akan tetapi di dalamnya terdapat etis sosial ekonomi. Saya sampai membayangkan begini: “seandainya zakat dapat diimplementasikan serentak oleh seluruh warga Negara Indonesia, saya rasa soal sirkulasi keuangan atau pendapatan ekonomi masyarakat akan menjadi seimbang. Masalah kesejahteraan masyarakat dapat diatasi (setidaknya).

Entah, bayangan saya ini adalah sesuatu yang utopis belaka atau bisa menjadi fakta. Akan tetapi, saya sangat berterimakasih kepada Gusdur dan tokoh tokoh muslim lainnya yang sudah mempengaruhi saya atas gagasan yang saya miliki, khususnya soal cara memandang ajaran Islam dengan baik.




Artikel Terkait

Comments (3)

    komentar Facebook sedang dipersiapkan